Total Tayangan Halaman

Sabtu, 20 Agustus 2011

ISLAM DAN PROBLEMANTIKA SOSIAL (By: Mustangin)


Dari pada sekedar merespon fenomena teologis, agama sesungguhnya lebih berperan besar dalam mersepon fenomena sosiologis. Artinya, agama kerap diturunkan melalui seorang hamba Tuhan yang disebut nabi seiring dengan konteks sosial di mana sang nabi tersebut dirisalahkan. Muhammad misalnya, hadir membawa ajaran Islam empat belas abad yang lalu untuk merespon fenomena kehidupan sosial masyarakat Arab ketika itu yang hidup dalam kondisi “jahiliyah”. Jika ajaran yang disampaikan Muhammad sampai hari ini disepakati sebagai ajaran Islam, dan dalam perjalanannya Islam awal hadir untuk merespon masyarakat jahiliyah Arab sebagai gejala sosial ketika itu, maka pertanyaan yang mungkin dapat dikedepankan adalah: bagaimana posisi Islam dalam merespon problematika sosial saat ini?.
Terma problematika sosial sesunggunhya menjadi term yang dapat dibincangkan dari berbagai aspek: budaya, politik, ekonomi dan aspek-aspek lainnya. Meski demikian, pembicaraan mengenai problematika sosial agaknya lebih cendrung diarahkan pada aspek perekonomian masyarakat seperti masalah kemiskinan yang memiliki integrasi dengan konsep zakat di dalam Islam. Setidaknya inilah salah satu aspek yang sering disoroti beberapa tokoh ketika membicarakan Islam dan problematika sosial, sehingga kadang kala kita hampir melupakan aspek-aspek lain yang juga penting dibincangkan sebagai fenomena kontemporer.
Kemiskinan sebagai problem sosial pada prinsipnya telah mendapatkan jawaban yang jelas dalam ajaran Islam dengan konsep zakat, infak dan sedekah. Namun demikian, jika kita mencoba keluar dari persoalan ini menuju persoalan lain yang pada dasarnya juga menjadi persoalan yang dapat disoroti sebagai problematika sosial, seperti mengenai pluralisme misalnya, pembicaraan akan menuai kontroversi yang cukup akut. Pembicaraan lain yang masih dirasa hangat, setidaknya di Indonesia, sebagai persoalan yang juga masih dapat ditafsirkan sebagai problematika sosial adalah soal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bukankah persoalan-persoalan yang baru disebutkan merupakan sebuah perwajahan dari problematika sosial yang dihadapi umat Islam (Indonesia) saat ini?.
Ada sebuah stigma yang terbangun di tengah masyarakat pada umumnya, bahwa orang-orang muslim memiliki jiwa solidaritas yang begitu tinggi terhadap saudaranya seiman dan sekeyakinan. Namun orang orang muslim, agaknya sulit bernegosiasi untuk komunitas yang berada di luar keyakinannya (non-muslim). Tentu stigma semacam ini tidak dapat digeneralisasi sebagai argumentasi untuk menyebutkan Islam sebagai demikian adanya. Sebab dalam faktanya kita masih dapat menemukan Islam yang berwajah ramah di tengah fenomena Islam yang berwajah “amarah”. Jika ditinjau dari sumber-sumber utama ajaran Islam sekalipun kita dapat menemukan Islam yang benar-benar menjadirahmat bagi seluruh alam” dari pada sekedar “azab bagi sebagaian alam”. Sehingga wajar jika seorang tokoh pernah mengatakan: orang-orang dari kalangan non-muslim kecil kemungkinan untuk dapat masuk/memeluk Islam jika melihat fenomena yang ditunjukkan umatnya, tapi kebanyakan dari mereka masuk/memeluk Islam karena mempelajari sumbernya (Al Qur’an).
Diterbitkannya buku kontroversial Fikih Lintas Agama oleh tim penulis Paramadina beberapa tahun lalu pada dasarnya merupakan sebuah karya bijak untuk merespon problematika sosial yang dihadapi umat Islam kontemporer dalam hubungannya dengan komuntas keagamaan lain. Bahwa fikih klasik yang dirumuskan ulama-ulama terdahulu memang kurang terbuka bagi komunitas keagamaan lain merupakan fakta yang tidak terbantah, sehingga kita butuh sebuah tafsir baru atas fikih yang lebih inklusif dan pluralis. Namun demikian, buku yang kita anggap sebagai karya bijak tersebut ternyata belum mampu diterima oleh masyarakat Islam secara luas, sehingga pencerahan yang dapat ditemukan pada buku tersebut tidak memiliki andil untuk mengisi dimensi Islam di Indonesia. Buku ini dilarang beredar karena dikhawatirkan akan meracuni pikiran umat, sehingga buku ini hanya dapat ditemukan di kantung mereka yang berani terbuka untuk wacana-wacana keislaman baru yang lebih segar.
Barangkali, masih cukup segar dalam ingatan kita kisruh soal penayangan film “Fitna” yang sempat memicu kemarahan umat Islam beberapa waktu lalu. Kontroversi tayangan film yang “dibidani” oleh seorang berkebangsaan Belanda itu misalnya, masih menyisakan sebuah misteri bagi mereka yang sama sekali tidak pernah tahu – bukan tidak mau tahu – dengan tayangan film tersebut. Bagi yang tidak pernah tahu dengan film tersebut tentu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ditayangkan oleh film tersebut sehingga memicu kemarahan umat Islam di seluruh dunia?.
Sekali lagi, masih menyimpan sebuah misteri, dan mereka yang tidak tahu dengan Fitna hanya mampu menduga-duga. Dengan modal informasi serba sedikit dari beberapa pihak, bahkan pihak yang juga tidak pernah tahu dengan apa yang ditayangkan Fitna, akhirnya muncul sebuah kesimpulan, bahwa Fitna memang benar-benar sebuah “fitnah” terhadap agama Islam. Bagaimana tidak, Wildres sang “arsitek” yang berhasil menciptakan film tersebut telah menafsirkan beberapa ayat Al-Qur‘an semaunya, dan jelas-jelas menyimpang dari maksud Al-Qur’an itu sendiri. Jika kesimpulan semacam ini yang muncul masih dianggap lumrah, namun yang lebih menggelitik justru, ada pula beberapa kalangan yang menganggap bahwa kemarahan umat Islam dipicu oleh tayangan-tayangan film tersebut yang cukup menghina Al-Qur’an, bahkan pada adegan akhir, ada tayangan “pengoyakan” lembaran Al-Qur’an. Jelas umat Islam marah jika Al-Qur’an dikoyak, bukankan Al-Qur’an menempati posisi yang begitu tinggi dalam kehidupan umat Islam?.
Kemarahan umat Islam yang muncul terkait soal tayangan Fitna pada prinsipnya merupakan bentukan dari “psikologi massa” dengan asumsi bahwa “telah terjadi penghinaan terhadap Al-Qur’an”. Dilarangya penayangan film tersebut justru berpotensi memunculkan konflik, karena kesimpulan yang diambil bernilai “koheren” atau malah “Praghmatis” dan bukan “koresponden” – meminjam metodologi pembuktian kebenaran yang ditawarkan para filosof. Artinya, kseimpulan yang memicu kemarahan umat Islam hanya didasarkan pada “omongan” dan bukan kasaksian langsung, atau melihat bagaimana tayangan film tersebut secara langsung.
Kejadiannya mungkin akan berbeda jika Fitna dipertontonkan secara bebas tanpa ada upaya provokatif tentunya, biarkan publik memilih dan menyimpulkan sendiri apa yang dilihatnya. Benar bahwa, Wildres, melalui Fitna, telah melakukan “kesalahan besar” dengan membawa-bawa Al-Qur’an terhadap sejumlah kekerasan yang terjadi diberbagai belahan dunia (misalnya pristiwa Pentagon dan WTC, September 2001 lalu). Tapi, dengan menyalahkan Wildres sepenuhnya juga bukan merupakan keputusan bijak tanpa melihat sisi lain sebagai fakta yang mendasari pandangan Wildres dalam tayangan Fitna. Pada saat yang sama kita juga harus menyadari bahwa sebagaian dunia Islam, menunjukkan fenomena yang digambarkan melalui Fitna. Hemat penulis, Wildres salah hanya karena membawa-bawa Al Qur’an sebagai instrumen yang melegitimasi fakta yang ditampilkannya, tapi Wildres – mungkin – benar terhadap fakta-fakta yang ditunjukkannya.
Melalui Fitna, Wildres agaknya ingin menunjukkan betapa bahayanya Islam dengan menayangkan sejumlah kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Singkatnya, Islam digambarkan sebagai agama yang menghalalkan kekerasan, mentolerir terorisme, ekslusif, dan kurang terbuka terhadap keyakinan lain. Tentu pandangan ini salah, meskipun dalam faktanya ada beberapa kelompok yang melakukan kekerasan atas nama agama Islam.
Kita sadar bahwa ekslusifisme pada agama manapun di dunia ini, tidak terkecuali Islam, mestilah ada pada setiap pemeluknya. Sebab, bagaimana mungkin kita dapat disebut sebagai umat yang beragama, atau dapat meyakini salah satu agama jika sikap ekslusif tidak menjadi bagian dari diri kita. Memang ekslusif di sini lebih tepat dimaknai sebagai sikap meyakini kebenaran yang diperoleh melalui agamanya ketimbang agama yang diyakini orang lain. Hal ini dapat berarti bahwa sikap ekslusif dalam beragama mencerminkan sikap menisbikan keyakinan orang lain. Dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, sikap ekslusif dalam beragama menganggap bahwa tidak ada kebenaran yang hakiki pada agama manapun kecuali agama yang kita yakini. Sikap ini tidak salah, karena – sekali lagi – hanya dengan sikap ekslusif orang dapat memeluk agama. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, tidak selamanya ekslusifisme harus dijadikan alasan untuk berbuat kekerasan atas nama agama. Inilah problematika sosial yang cuku akut dihadapi umat Islam dewasa ini dan mendesak untuk dicarikan pemecahannya. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar