Total Tayangan Halaman

Selasa, 23 Agustus 2011

KIAT PRAKTIS PENERAPAN MANAJEMEN KINERJA


Supaya berhasil dalam menerapkan manajemen kinerja ada kiat-kiat sebagai berikut
a. Sederhana, termasuk di dalamnya formulir penilaian yang isinya mudah dimengerti dan tata cara penilaian yang tidak berbelit-belit. Kesederhanaan ini penting untuk mencegah keengganan berbagai pihak yang akan menerapkannya.
b. Seminimal mungkin menggunakan dok-umen cetak karena di samping biaya, akan mengurangi kesan kesederhanaan manajemen kinerja.
c. Seminimal mungkin menggunakan waktu kerja. Hal ini terkait dengan dua butir pertama karena manajemen kinerja yang sederhana dan tidak banyak

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PADA ZAMAN KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA


 
BAB I
PENDAHULUAN

Kedatangan agama Islam pada abad ke-7 M ke dunia dianggap oleh sejarawan sebagai pembangun dunia baru, kebudayaan serta peradaban baru. Selama lebih dari empat belas abad semenjak agama islam disebarkan Nabi Muhammad SAW., berkembang kesebagian belahan dunia dalam penyebaran bidang  teologi monoteisme, bidang kehidupan individu, bidang kehidupan masyarakat dan kenegaraan. Semakain semarak ilmu pengetahuan berkembang terutama dalam bidang arsitektur, ilmu politik, ilmu sejarah, ilmu sosiologi, zoology dan lain sebagainya. Hingga pada apenyebaran tersebut memasuki wilayah nusantara yang merupakan cikal bakal Negara Indonesia.
Sejarah islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislaan, yang berbeda karakter dan sifat keberislaman dinegaranegara islam lainnya, terutama timur tengah. Islam indoneisa ternyata mampu berinteraksi dengan budaya local, seperti bentuk mesjid, tatacara yangmengiringi ritual keagamaan.
1
 
Contoh kecil adalah masjid Demak. Masjid Demak adalah  perpaduan dari budaya local dengan masjid, demikian juga upacara sekaten di Yokyakarta setiap bulan Mulud adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan budaya local yang terpadu dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
BAB II
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PADA ZAMAN KERAJAAN ISLAM

Dilaporkan oleh Ibn Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat Jum'at sampai waktu Ashar. Dari keterangan itu di­duga kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-­masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus. [1]

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PADA ZAMAN KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA


 
BAB I
PENDAHULUAN

Kedatangan agama Islam pada abad ke-7 M ke dunia dianggap oleh sejarawan sebagai pembangun dunia baru, kebudayaan serta peradaban baru. Selama lebih dari empat belas abad semenjak agama islam disebarkan Nabi Muhammad SAW., berkembang kesebagian belahan dunia dalam penyebaran bidang  teologi monoteisme, bidang kehidupan individu, bidang kehidupan masyarakat dan kenegaraan. Semakain semarak ilmu pengetahuan berkembang terutama dalam bidang arsitektur, ilmu politik, ilmu sejarah, ilmu sosiologi, zoology dan lain sebagainya. Hingga pada apenyebaran tersebut memasuki wilayah nusantara yang merupakan cikal bakal Negara Indonesia.
Sejarah islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislaan, yang berbeda karakter dan sifat keberislaman dinegaranegara islam lainnya, terutama timur tengah. Islam indoneisa ternyata mampu berinteraksi dengan budaya local, seperti bentuk mesjid, tatacara yangmengiringi ritual keagamaan.
1
 
Contoh kecil adalah masjid Demak. Masjid Demak adalah  perpaduan dari budaya local dengan masjid, demikian juga upacara sekaten di Yokyakarta setiap bulan Mulud adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan budaya local yang terpadu dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
BAB II
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PADA ZAMAN KERAJAAN ISLAM

Dilaporkan oleh Ibn Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat Jum'at sampai waktu Ashar. Dari keterangan itu di­duga kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-­masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus. [1]
2
 
Dengan demikian, Samudra Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sementara itu, untuk luar kerajaan, halaqah ajaran Islam diduga sudah dilakukan di koloni-koloni tempat pedagang Islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Proses halaqah ajaran Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Islam di­duga dilakukan di masjid istana bagi anak-anak pembesar negara, di masjid-masjid lain, mengaji di rumah-rumah guru dan surau-surau untuk masyarakat umum. Dari halaqah semacam itu nanti berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam.
Setelah Kerajaan Samudra Pasai mundur dalam bidang po­litik, tradisi pendidikan agama Islam terus berlanjut. Samudra Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, walaupun secara politik tidak berpengaruh lagi. Ketika kera­jaan Islam Malaka muncul menjadi pusat kegiatan politik, Malaka berkembang juga menjadi pusat studi Islam. Akan tetapi peranan Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam tidak berkurang, bahkan kadang-kadang masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh ulama Malaka dimintakan fatwanya kepada ulama Samudra Pasai. Kerajaan Malaka selain sebagai pusat politik Islam, juga giat melaksanakan perigapan dan pendidikan Islam. Belum didapatkan data bagaimana pendidikan Islam dilangsungkan. Besar kemungkinan, sebagaimana di Samudra Pasai, pendidikan Islam dilangsungkan di masjid istana bagi keluarga pembesar, di masjid-masjid, di rumah­-rumah, serta surau-surau bagi masyarakat umum.
Istana juga berfungsi sebagai tempat mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan, juga berfungsi sebagai pusat penerjemahan dan penyalinan kitab-kitab, terutama kitab-kitab keislaman.[2] Mata pelajaran yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam dibagi menjadi dua tingkatan:
a.    tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis, bahasa Arab, pengajian Alquran, dan ibadah praktis;
b.    tingkat yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu fiqih, tasawuf, ilmu kalam, dan lain sebagainya.
Banyak ulama mancanegara datang ke Malaka dari Afgha­nistan, Malabar, Hindustan, terutama dari Arab untuk meng­ambil peran dalam penyiaran dan pendidikan agama Islam. Para ulama itu biasanya diberi kedudukan tinggi dalam kera­jaan. Para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai negara Asia Tenggara. Dari Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan setelah selesai menjalam pen­didikan agama, mereka mendirikan tempat pendidikan Islam di tempat masing-masing.
Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Bait al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Tradisi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan Islam di Asia Tenggara.
Para ulama besar ini banyak berjasa mendirikan lembaga­lembaga pendidikan Islam seperti dayah berkembang men­jadi semacam perguruan tinggi. Nuruddin al-Raniri dan Abd. Rauf Singkel adalah ulama-ulama yang mengajar di lembaga pendidikan ini. Para penuntut ilmu yang datang dari luar Aceh belajar kepada mereka seperti Syaikh Burhanuddin yang berasal dari Ulakan-Pariaman-Minangkabau. Setelah tamat is pulang dan mendirikan lembaga pendidikan Islam yang disebut surau. Kemajuan pesat lembaga pendidikan di Aceh ini telah menyebabkan orang menjulukinya sebagai "Serambi Makkah”.[3] Murid dari kerajaan lain belajar kepada guru ngajinya masing-masing, kemudian meningkat belajar lebih tinggi di Aceh sesudah itu ke Makkah.
Samudra Pasai, Malaka, dan Aceh merupakan pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Dari sinilah ajaran-­ajaran Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulamanya serta murid-murid yang menuntut ilmu ke sana, sebagaimana dengan Giri di Jawa Timur ter­hadap daerah-daerah Indonesia bagian Timur. Karya-karya sastra dan keagamaan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi karya-karya itu Bering mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan-kerajaan itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin keras.
Sistem pengajaran bagi setiap umat Islam, sebagaimana di negeri-negeri Muslim, adalah pengajian Alquran. Pada tahap awal lapal bacaan bahasa Arab (huruf-huruf hijaiyah), sesudah itu menghapal surat-surat pendek (Juz Amma) beserta tajwid­nya yang diperlukan untuk shalat.[4] Pelajaran lebih lanjut ber­kenaan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam (fiqih) dan tasawuf. Yang memberi pelajaran pada tahap awal disebut alim, sedangkan untuk pelajaran lebih lanjut diberikan oleh seorang ulama besar terutama yang pernah belajar ke Makkah.
Setelah seorang murid dikenalkan dengan beberapa buku pedoman yang bersifat elementer, pada tingkatan lebih lanjut segera diajarkan buku-buku pegangan yang lebih besar. Buku-­buku besar itu dibaca kalimat demi kalimat di bawah bim­bingan guru- guru membaca satu-dua kalimat dalam bahasa Arab, sesudah itu guru menerjemahkannya ke bahasa Melayu ditirukan oleh murid-murid. Murid-murid yang rajin akhirnya memeroleh kemahiran, sehingga mampu menerjemahkan buku-buku bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu.
Pendidikan islam mengalami kemajuan pesat setealah para ulama mengarang buku-buku pelajaran keislaman menggunakan bahasa melaayu, seperti karya Hamzah Fansuri, Nururddin al-Raniri, Abd. Rauf Singkel di Aceh. Demikian juga di Palembang dan Banjarmasin. Di Jawa dengan bahasa Jawa atau Sunda. Hal ini terjadi setelah banyak orang-orang Indonesia belajar ke negeri Arab dan menjadi ulama terkenal setelah kembali ke negeri asalnya.
Di Minangkabau lembaga pendidikan disebut surau. Surau sebelum Islam datang berfungsi sebagai tempat menginap anak-anak bujang. Setelah Islam datang surau dipergunakan tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan Islam, seperti belajar membaca Alquran. Dengan kata lain, surau berfungsi semacam sebuah masjid berukuran kecil karena tidak diguna­kan untuk shalat Jumat.
Yang mula melakukan islamisasi surau adalah Syaikh Burhanuddin (1641-1691) setelah kembali menuntut ilmu keislaman kepada Abd. Rauf Singkel di Kutaraja Aceh. Burhanuddin kembali ke kampung halamannya di Ulakan ­Pariaman, mendirikan surau untuk mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan pengembangan Islam selanjut­nya di Minangkabau.[5] Surau inilah cikal bakal lembaga pendidikan Islam yang lebih teratur di masa berikutnya. Murid-muridnya kemudian kembali ke tempat masing-masing, mendirikan surau-surau sambil melakukan perbaikan dan pengembangan. [6]
Di Jawa lembaga pendidikan Islam disebut pesantren. sebagaimana di Aceh (dayah atau rangkang), di Minang­kabau (surau), nama lembaga pendidikan pesantren tidak berasal dari tradisi Timur Tengah tetapi dari nama lembaga sebelum Islam. "pesantren" berasal dari bahasa Tamil santri yang berarti guru ngaji. Sementara itu C.C. Berg berpen­dapat bahwa "pesantren" berasal dari kata India shastri, berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu.[7]
Di Jawa sebelum Islam datang, pesantren sudah dikenal sebagai lembaga pendidikan agama Hindu. Setelah Islam masuk, nama itu menjadi nama lembaga pendidikan agama Islam. Lembaga pendidikan Islam ini didirikan oleh para penyiar agama Islam pertama yang aktif menjalankan dakwah. Me­reka masuk ke daerah pedalaman Jawa berhasil mendirikan lembaga. Dari lembaga pendidikan inilah menyebar agama Islam ke berbagai pelosok Jawa dan wilayah Indonesia bagian Timur. Oleh karena itu, di Jawa sudah ada lembaga pendidikan sejak abad ke-15 dan ke-16.
Menurut sumber lokal, lembaga pendidikan Islam pertama di Jawa adalah Pesantren Girl dan Pesantren Gresik di Jawa Timur. Pesantren Gresik didirikan Maulana Malik Ibrahim yang mendidik mubalig-mubalig yang nantinya menyiar­kan agama Islam ke seluruh Jawa. Sedangkan pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri sekembalinya ia menuntut ilmu keislaman di Malaka. Sunan Giri I (Raden Paku) pada tahun 1485 menetap di Giri sebagai kiai besar dengan gelar Prabu (Raja) Satmata. la membangun istana dan masjid sebagai sebuah kerajaan Islam, sehingga digelari raja-Mama. Prabu Satmata sebagai orang pertama yang membangun pusat pendidikan sekaligus pusat berkhalwat. Pesantren Girl ini dikunjungi oleh santri-santri setempat, juga para penuntut ilmu dari Maluku, terutama Hitu. Sekembalinya ke Maluku mereka menjadi guru agama, khotib, modin, qadi, yang menurut de Graaf mendapat upah dalam bentuk cengkeh.[8]
Terdapat juga pendidikan agama di Ampel-Surabaya-Jawa Timur, dibangun oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta). Berawal dari Giri dan Ampel, pada masa berikutnya semakin banyak pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan Gunung Jati Cirebon. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), seperti Sunan Giri, diberi gelar Raja Pandito Ratu sebagai raja sekaligus ahli agama yang menye­barkan Islam di Cirebon.[9]
Di kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam pertama dikenal dengan nama langgar. Orang pertama yang mendirikan langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama Banjar yang pernah menuntut ilmu keislaman di Aceh dan Makkah selama beberapa tahun. Sekembalinya ke Banjarmasin, ia membuat langgar yang didirikan di pinggiran ibukota kera­jaan yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Dalam Pagar.[10] Langgar di Banjar banyak kemiripannya dengan pe­santren di Jawa.
Pada tahun 1476 di Bintoro dibentuk organisasi Bayankare Islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk mem­pergiat usaha pendidikan dan pengajaran Islam.[11] Dalam rencana pekerjaannya disebutkan sebagai berikut.
a.      Tanah Jawa-Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan pendidikan/pengajaran. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal).
b.      Supaya mudah dipahami dan diterima masyarakat, didikan dan ajaran Islam harus diberikan melalui jalan kebuda­yaan yang hidup dalam masyarakat, asal tidak menyalahi hukum syara'.
c.      Para wali/badal selain harus pandai ilmu agama serta memelihara budi pekerti supaya menjadi surf tauladan bagi masyarakat.
d.      Di Bintoro segera didirikan masjid Agung untuk menjadi sumber ilmu, pusat kegiatan pendidikan dan pengajaran Islam.
Berdasarkan rencana itu, di tempat sentral suatu daerah didirikan masjid, dipimpin oleh wali atau badal untuk men­jadi sumber pendidikan Islam yang sampai sekarang di bebe­rapa tempat masih ada.
Wali suatu daerah diberi gelar Sunan ditambah nama daerahnya, misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, sedangkan badal gelarnya kiai ageng, misalnya Kiai Agung Tarub, Kiai Agung Selo.
Kebijaksanaan wali-wali menyiarkan agama Islam dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan sangat memuaskan, sehingga agama Islam tersebar ke seluruh Indonesia. Sayang, kita tidak menjumpai apakah kitab-kitab yang dipakai waktu itu serta bagaimana bentuk pengajarannya.
Kitab-kitab yang dipakai zaman Demak tidak ditemukan, yang ada kitab yang kini terkenal dengan nama Usul 6 Bis, yaitu sebuah kitab tulisan tangan berisi enam Bismillah karangan ulama Samarkand yang berisi tentang ilmu-ilmu Islam per­mulaan. Kitab lain adalah Tafsirjalalain karangan Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Sayuti. Ada juga kitab Prhizboii dan Sulu,. Prinibon berisi wejangan wali sedangkan Stiluk  berisi  ajaran  mistik.[12]
Kemudian pusat kerajaan pindah ke Mataram tahun 1586. Pada zaman Sultan Agung Mataram (1613), sesudah mem­persatukan Jawa Tengah dengan Jawa Timur pada tahun 1630, Sultan Agung membangun negara, mempergiat pertanian dan perdagangan. Atas kebijaksanaan Sultan Agung kebudayaan lama yang berdasarkan Indonesia asli dan Hindu disesuaikan dengan agama dan kebudayaan Islam seperti:
a.    Gerebeg disesuaikan dengan Hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi disebut Gerebeg Poso dan Gerebeg Mulud
b.    Gainelaii Sekaten yang dibunyikan pada Gerebeg Mulud dipukul di halaman masjid Agung.
c.    Tahun Caka (Hindu) yang berdasarkan perjalanan matahari dan tahun Hijriyah yang berdasarkan perjalanan bulan, pada tahun 1633 tahun Qaka yang telah menunjukkan angka 15550 Qaka tidak lagi ditambah dengan hitungan matahari, tetapi dengan hitungan perjalanan bulan sesuai dengan tahun Hijriyah. Tahun yang barn disusun itu disebut tahun Jawa clan sampai sekarang tetap dipakai.
Untuk pelaksanaan pendidikan di suatu kabupaten di­bagi menjadi beberapa bagian. Pelaksanaannya pada tiap-tiap bagian dipertanggungjawabkan kepada beberapa Ketib, dibantu oleh beberapa Modin. Naib dan pegawainya Berta Modin Desa adalah penyelenggara clan Naib sebagai kepala­nya.
Pada suatu desa diadakan beberapa tempat pengajian Al­quran, dimulai mengenal huruf Hijaiyah juz Amma, Alquran, pokok-pokok dasar ilmu agama Islam seperti ibadah, rukun iman, rukun Islam, dan sebagainya. Cara mengajarnya sistem hafalan. Jumlah tempat pengajian menurut banyaknya Modin di desa itu. Tiap anak laki-laki dan perempuan berumur tujuh tahun harus belajar. Kalau ibu bapaknya tidak sanggup mengajar harus menyerahkan mereka kepada guru agama. Anak-anak yang telah berumur tujuh tahun bila tidak mengaji akan menjadi olok-olokan. Selain untuk mengajar anak-anak, diadakan juga tempat pengajian Kitab bagi murid-murid yang telah tamat Alquran. Gurunya adalah Modin yang terpandai. Pelajaran yang mula-­mula adalah Usul 6 Bis, kemudian matan Taqribi, clan Bidayah al-Hidayah karangan Imam Ghazali.
Pada beberapa daerah kabupaten diadakan Pesantren Besar lengkap dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di Desa. Gurunya diberi gelar Kiai Sepuh atau Kanjeng Kiai. Guru-guru itu adalah "Ulama Keraton", tingkat keduclukannya sama dengan penghulu kabupaten. Sedangkan Kiai Anom adalah seperti Ketib masuk golongan priyayi ulama kabupaten.
Kitab-kitab Pesantren Besar lalah kitab-kitab berba­hasa Arab. Pada umumnya pelajaran berbentuk syarah atau hasyiyah dalam bermacam-macam cabang ilmu seperti fiqih, tafsir, hadis, ilmu kalam, tasawuf. Juga dialarkan nahwu, sharaf, clan falak. Di samping itu diadakan Pesan­tren Keahlian (takhassus) yang mengajarkan satu cabang ilmu. Begitu juga ada Perguruan Thariqat yang mengajarkan satu macam tarekat saja.
Biaya pesantren atau pendidikan Islam dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi ditanggung oleh masyarakat Islam sendiri, seperti pungutan zakat, srakah (iuran nikah, wakaf), dan palagara (pembayaran suatu hajat penducluk desa). Sementara itu, Penghulu, Naib dan pegawal-pegawainya, Modin, Kiai Anom, Kiai Sepuh, mendapat penghasilan selain gall juga tanah sawah (lungguh). Pada masa Kerajaan Kartasura (± tahun 1700) ada beberapa pesantren besar dijadikan perdikan, yaltu diberikan tanah, sawah, dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang dibebaskan dari ke­wajiban membayar pajak. Tanah itu disebut Tanah Mutihan. Namun sayang, tahun 1916-1917 semua perdikan dihapuskan oleh Belanda dijadikan tanah gubernemen.
BAB III
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa penyebaran Islam di Indonesia  benar-benar mengedepankan aspek ketauhidan dengan mengalaborasikan dengan budaya yang berkemabng dimasyarakat, sehingga ajaran islam mudah dimengerti dan dipahami masyarakat dengan tanpa merusak aqidah pokok keislaman.
Ketauladanan para wali dan penyebar telah benar-benar berusaha mewujudkan keteladanan Nabi Muhammad SAW., tidak hanya sebagai ulama tapi juga pemimpin. Ciri kepemimpinan yang telah ditanamkan kepada umat adalah; Pemimpin Yang Dicintai, Dipercaya, Membimbing, Berkepribadian dan pemimpin Yang Abadi.
Dari ciri diataspun dapat kita ambil sebuah ketauladanan yang mulia untuk menjalankan misi manusia sebagai kholifah dimuka bumi ini. Tingkat keberhasilan sesorang sangat ditentukan pada seberapa tinggi kepemimpinannya. Tingkat kepemimpinan seseorang juga menentukan seberapa besar dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya.
14
 
Penyebaran Islam pada masa kerajaan-kerajaan islam telah menjadi bukti sejarah bahwa penyebaran dan perkembangannya telah membawa peradaban baru pada masyarakat Indonesia. Peradaban ini pula yang melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan di Indonesia pada saat ini.     


[1] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987) h. 110
[2] H. Abdullah Ishak, Islam di Nusantara ( Khususnya di Yanah Melayu), (Selangor: al-Rahmaniyah, 1990), h.166.
[3] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), h. 174
[4] C. Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), h. 31
[5] Mahmud Yunus, Op. Cit., h. 25
[6] 84Azyumardi Azra, "Surau di Tengah Krisis" dalam Dawam Raharjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), h. 156.

[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 110
[8] Ibid,  h. 111
[9]Pangeran Arya Carbon, Purwaka Tjaruban Nagari (Salinan Atia), (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972), h. 15.

[10] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 94
[11] Mahmud Yunus, Op.Cit., h. 217
[12] Mahmud Yunus, Op.Cit., h.220